Konsep Dasar Instrumen Asesmen
Tes pada dasarnya adalah alat ukur atribut psikologis yang objektif atas sampel perilaku tertentu. Bagi Anda sebagai pendidik, tes merupakan salah satu instrumen asesmen yang banyak digunakan untuk menggali informasi tentang sejauh mana tingkat penguasaan kompetensi siswa terhadap kompetensi yang dipersyaratkan. Tes pada dasarnya merupakan alat ukur pembelajaran yang paling banyak digunakan dalam melakukan asesmen proses dan hasil belajar siswa dalam pengajaran klasikal.
Terdapat lima jenis atau cara pembagian tes yaitu: a) Pembagian jenis tes berdasarkan tujuan penyelenggaraan, b) Jenis tes berdasarkan waktu penyelenggaraan, c) Pembagian jenis tes berdasarkan cara mengerjakan, d) Pembagian jenis tes berdasarkan cara penyusunan, e) Pembagian jenis tes berdasarkan bentuk jawaban.
Jenis tes berdasarkan tujuan penyelenggaraan terdiri dari Tes Seleksi, Tes Penempatan, Tes Hasil Belajar, Tes Diagnostik, dan Tes Uji Coba. Sedangkan Jenis tes berdasarkan tahapan atauwaktupenyelenggaraannya meliputi Tes Masuk (Entrance Test), Tes Formatif (Formative Test),Tes Sumatif (Summative Test), Pra-Testdan Post-Test. Secara umum, tes dapat dikerjakan secara tertulis dan secara lisan dalam bentuk tes essai maupun objektif.
FUNGSI, TARAF VALIDASI, DAN APLIKATIF TES-TES PSIKOLOGI
Secara mendasar, fungsi tes psikologi adalah untuk mengestimasi perbedaan antara individu serta reaksi-reaksi individu yang muncul pada situasi yang sama ataupun berbeda.
Awalnya tes psikologi berkembang dari asumsi untuk mengidentifikasi individu yang mengalami keterbelakangan mental, hingga sekarang penggunaannya secara klinis mencakup subjek-subjek dengan gangguan emosional yang parah maupun masalah-masalah perilaku yang lainnya. Salah satu motivasi perkembangan tes psikologi juga mendasar pada kebutuhan untuk memberikan penilaian dalam bidang pendidikan, misalnya Tes Inteligensi Binnet yang masih digunakan hingga sekarang. Selain itu, peranan lainnya adalah untuk menyeleksi dan klasifikasi sumber daya manusia yang digunakan dalam industri-industri dalam memilih karyawannya, dalam memilih personil militer, dan lain sebagainya.
Penggunaan tes psikologi dalam konseling perorangan mencakup dari aspek perencanaan pendidikan, pekerjaan, hingga pada semua aspek kehidupan yang lebih luas, misalnya kestabilan emosi, pola-pola hubungan interpersonal, pemahaman diri, pengembangan diri, hingga sarana untuk mencari solusi bagi beragam gangguan dan disfungsi psikologis seperti gangguan perilaku pada remaja, bahkan lebih luas lagi berguna dalam penelitian-penelitian dasar.
Suatu tes psikologi akan berbeda fungsinya dengan tes psikologi lainnya. Ini mengilustrasikan bahwa suatu tes psikologi disusun dengan sifat-sifat tes dan fungsi yang berbeda. Beberapa tes berfokus pada penilaian ciri-ciri atau kognitif yang berkisar mengestimasi kemampuan dan potensi pada individu hingga keterampilan sensorimotor yang spesifik.
Secara paktis, tes psikologi adalah alat ukur yang objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu. Dalam penyeleksian item-item soal tes juga dipertimbangkan dengan jumlah subjek yang menjadi sampel perilaku yang melewati tiap item soal tersebut. Hal ini memungkinkan ada sejumlah item tes akan dieliminasi. Mengenai seberapa besar keakuratan suatu alat tes psikologi nampaknya tidak dapat ditentukan secara pasti. Kadang-kadang dalam suatu situasi kehandalannya dapat teruji. Di sisi lainnya, pendapat-pendapat subjektif, dugaan-dugaan, dan bias-bias pribadi bias mengarah pada klaim-klaim berlebihan mengenai apa yang dicapai oleh tes tersebut. Evaluasi objektif tes-tes psikologi adalah suatu solusi untuk mengetahui validitas dan kehandalan alat tes dalam situasi-situasi khusus.
Langkah-langkah Menyusun tes
Penyusunan tes sangat besar pengaruhnya terhadap peserta yang akan mengikuti tes, untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran maka tes harus direncanakan secara cermat. Dalam perencanaan tes ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan testeryaitu :
1.Menentukan cakupan materi yang akan diukur. Ada tiga langkah dalam mengembangkan kisi-kisi tes dalam sistem penilaian berbasis kompetensi dasar, yaitu (1) Menulis kompetensi dasar, (2) Menulis materi pokok, (3) Menentukan indikator, dan (4) Menentukan jumlah soal.
2. Memilih Bentuk Tes. Pemilihan bentuk tes akan dapat dilakukan dengan tepat bila didasarkan pada tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan.
3. Menetapkan panjang Tes. Ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soal, yaitu : bobot masing-masing bagian yang telah ditentukan dalam kisi-kisi, kehandalan yang diinginkan, dan waktu yang tersedia.
Kriteria Tes Yang Baik
Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menyusun butir-butir tes yang berkualitas yaitu a) Valid, b) Relevan, c) Spesifik, d) Representatif, e) Seimbang, f) Sensitif , g) Fair, dan h) Praktis. Kualitas instrumen sebagai alat ukur ataupun alat pengumpul data diukur dari kemampuan alat ukur tersebut untuk dapat mengungkapkan dengan secermat mungkin fenomena-fenomena ataupun gejala yang diukur. Kualitas yang menunjuk pada tingkat keajegan, kemantapan, serta konsistensi dari data yang diperoleh itulah yang disebut dengan validitas dan reliabilitas.
Validitas alat ukur menunjukkan kualitas kesahihan suatu instrument, Alat pengumpul data dapat dikatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur/ diingikan. Jenis-jenis validitas yang dapat dipakai sebagai kriterium, dalam menetapkan tingkat kehandalan tes, diantaranya adalah : a) Validitas Permukaan (Face Validity), b) Validitas Konsep (Construct Validity), danc)Validitas Isi (Content Validity).
Kerlinger (1986:443) mengemukakan bahwa reliabilitas dapat ukur dari tiga kriteria yaitu: (1)Stabilityyaitu kriteria yang menunjuk pada keajegan (konsistensi) hasil yang ditunjukan alat ukur dalam mengukur gejala yang sama pada waktu yang berbeda. (2) Dependability yaitu kriteria yang mendasarkan diri pada kemantapan alat ukur atau seberapa jauh alat ukur dapat diandalkan. (3) Predictability: Oleh karena perilaku merupakan proses yang saling berkait dan berkesinambungan, maka kriteria ini mengidealkan alat ukur yang dapat diramalkan hasilnya dan meramalkan hasil pada pengukuran gejala selanjutnya.
Cara mencari koefisien reliabilitas alat ukur, dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara,dimana masing-masing cara mempunyai kekurangan dan keunggulan tersendiri. Berbagai pilihan tentang cara menetapkan tingkat reliabilitas alat ukur tersebut adalah : a) Teknik Pengulangan (Test and Re Test Reliability, b). Teknik Bentuk Paralel (Alternate Form Reliability), c) Teknik belah dua (Split Half reliability). Oleh karenanya, untuk mendapatkan gambaran koefisien secara keseluruhan, koefisien antar belahan tersebut masih perlu dikoreksi dengan formula berikut ini : N r x1 x2
Reliability = 1 + r x1 x1
Dimana :
x1adalah skor dari belahan satu,
x2 adalah skor dari belahan kedua, dan
n adalah banyaknya subjek pada setiap bagian (belahan).
d) Kuder Richardson Reliability. Cara ini diberlakukan bila instrumen digunakan untuk mengukur satu gejala psikologis atau perilaku yang sama, artinya alat ukur tersebut dapat dikatakan reliabel bila terbukti ada konsistensi jawaban antaritem yang satu dengan item yang lain. e) Cronbach Alpha Reliability. Cara ini juga dikembangkan untuk menguji konsistensi internal dari suatu alat ukur.Perbedaan pokok denganModel Kuder Richardson adalah bahwa teknik ini tidak hanya untuk instrumen dengan dua pilihan tetapi tidak terikat pada dua pilihan saja, sehingga penerapannya lebih luas, misalnya untuk menguji reliabilitas skala pengukuran sikap dengan 3, 5 atau 7 pilihan.
Macam-Macam tes Psikologis
Berdasarkan aspek mental dan psikologis yang diungkap, maka secara garis besar tes psikologis dibagi menjadi dua macam berdasarkan sasaran yang hendak dicapai, yaitu:
1. Mengungkap aspek kognitif (intelegensi)
Tes Binnet
Tes Wechsler (Wechsler Adult Intelligence Scale, Wechsler Intelligence Scale for Children, Wechsler Preschool and Primary Scale for Intelligence)
Tes Raven (Standard Progressive Matrices, Coloured Progressive Matrices, Advanced Progressive Matrices)
TIKI (Tes Intelegensi Kolektif Indonesia)
2. Mengungkap aspek kepribadian
a. Teknik Non-Proyektif (Objektif)
EPPS (Edwards Personal Preference Schedule)
MMPI (Minessota Multiphasic Personality Inventory)
16 PF
CAQ (Clinical Analysis Questionnaire)
b. Teknik Proyektif
TAT (Thematic Apperception Test)
Tes Grafis
Tes Wartegg
SSCT (Sack Sentence Completion Test)
Tes Szhondi (sarana proyeksinya foto)
Tes Rorschach (salah satu tes bercak tinta)
Tes Kepribadian Laporan diri
Tes kepribadian adalah instrumen untuk mengukur ciri-ciri emosi, motivasi, antarpribadi, dan sikap, yang dibedakan dari kemampuan. Dalam perkembangan tes kepribadian, berbagai pendekatan yang digunakan dewasa ini antara lain berdasarkan pada relevansi isi, pemasukan kriteria empiris, analisis faktor, dan teori kepribadian. Pendekatan tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dalam pratek sesungguhnya, inventori saat ini menggunakan dua atau lebih prosedur laporan diri ini.
Sumber: http://aswendo2dwitantyanov.wordpress.com/2012/05/15/tes-tes-berbasis-psikologi/
mengapa ketika SD-SMA siswa datang lebih dulu dari pada guru? sedangkan disaat kuliah dosen datang lebih dulu dari pada mahasiswanya sendiri? apa hubungannya dengan kedisiplinan?
BalasHapusmenurut Teiford, 2008 dalam teori mengenai persepsi sosial yaitu: persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain.
dari teori tersebut saya berpendapat bahwa ketika kita SD-SMA kita tidak diberi kebebasan dalam menepati peraturan, diharuskan mentaati peraturan, jika tidak kita akan mendapatkan hukuman yang akan membuat kita malu dan jengah pada saat itu juga. contoh: ketika kita terlambat guru - guru akan memarahi kita, menghukum kita di depan teman teman, bahkan bisa sampai dipanggil orang tuanya, dengan adanya perlakuan seperti itu kita akan mendapatkan kesan bahwa jika kita telat maka kita akan mendapat hukuman yang cukup serius pada saat itu juga tanpa adanya toleransi sehingga tinggkat kedisiplinan pun tinggi.
sedangkan ketika kita kuliah kita diberi kebebasan dalam menepati peraturan yang ada. tetap ada peraturan yang berlaku tapi sangsi yang di dapat tidak berupa sangsi langsung sehingga menimbulkan perasaan menyepelekan. contoh: ketika kita telat dosen yang sedang mengajar memperbolehkan masuk kedalam kelas untuk mengikuti pelajarannya. pada saat kita telat berikutnya hal itu terjadi lagi sehingga timbulah kesan bahwa ketika kita telat tidak akan mepengaruhi apapun. tetapi itu akan berpengaruh terhadap nilainya tanpa dia sadari. jadi tingkat kedisiplinan pun akan menurun.
jadi menurut saya semua itu tergantung pada kesan yang di dapat oleh individu tersebut untuk menentukan perilaku selanjutnya.